Kisah WNI Tempuh Pendidikan Di Jepang

JEPANG, fajarnasional.com – Jepang merupakan negara yang sangat memprioritaskan pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini terbukti dengan fasilitas yang lengkap seperti perpustakaan serta gedung yang modern.

Semua serba otomatis mulai dari pintu kampus terbuka tanpa menyentuh, elevator, lift dan kantin memakai mesin dalam pemesanan menu untuk mengurangi antrian. Ada juga supermarket dalam kampus yang bersih, bebas asap rokok, lebih rapi dan teratur.

Abi Revyansah Perwira merupakan salah satu dari sekitar 20 Warga Negara Indonesia (WNI) yang belajar di Kampus Takushoku University, Bunkyo-ku, Tokyo.

“Saya mengambil Linkage program yang mana 1 tahun kuliah Indonesia dan lanjut ke Jepang selama 1 tahun. Saya masuk kampus Jepang September 2019 dan akan selesai September 2020,” terang Abi, sapaan akrabnya, saat dihubungi via telepon selulernya.

Baca Juga : Mengenal Madrasah Tsanawiyah Diponegoro Klanting

Baca Juga : Bupati Lumajang Kunjungi Semarak Food Festival

Abi, menambahkan, untuk program S2 durasinya bergantung pada program studi kampus masing-masing. Jadi total program Master Linkage adalah 2 tahun atau 4 semester.

Abi, menjelaskan, kampus Jepang mengakui mata kuliah kampus Indonesia, begitu pula sebaliknya. Sehingga kredit atau SKS dan tesis untuk memperoleh gelar Master memenuhi pada kedua kampus tersebut. Program Linkage memberikan dua gelar S2, gelar dari kampus Indonesia dan gelar dari kampus Jepang.

“Saya juga ingin menambah wawasan dan membandingkan antara pendidikan kuliah dalam negeri dengan Jepang,” katanya.

Kurikulum pendidikan Jepang membebaskan dosen dalam menyampaikan materi, berbeda dengan Indonesia yang terpaku pada silabus. “Kami wajib membaca artikel ilmiah dan textbook, sementara penilaiannya dalam bentuk paper/makalah dengan deadline 2 – 3 minggu,” jelasnya.

Jepang Mengalami Aging Population

Meski demikian, Jepang mengalami aging population, yang artinya populasi generasi tua lebih banyak dari generasi muda. Perkiraan 50-60 tahun yang akan datang tidak akan ada lagi penduduk asli Jepang. Pasalnya, generasi muda Jepang enggan untuk menikah dan berkeluarga.

Baca Juga : Pemerintah Berikan Bantuan 2,4 Juta Pada Pelaku UKM

Baca Juga : Terharu !!! Warga Palestina Turut Rayakan HUT RI Ke-75

“Yang saya amati, pada kota Tokyo pinggiran, jumlah proporsi bangunan lebih banyak daripada jumlah proporsi manusia. Hal ini terasa ketika saya berada pada wilayah padat bangunan, tetapi suasana sepi dan hampir tidak ada orang lalu-lalang. Orang Jepang lebih suka menyewa kamar apartemen (apato) dari pada membeli rumah. Apalagi ketika kami liburan jalan-jalan keliling Jepang,” paparnya.

Lebih lanjut, abi menjelaskan, pada wilayah pemukiman pedesaan sangat terasa keberadaan manusia yang sangat sedikit. Oleh karena itu, pemerintah Jepang (sebelum COVID-19) banyak menerima tenaga kerja terampil dan mahasiswa dari luar terutama negara-negara berkembang. Salah satu cara yaitu dengan program Linkage Bappenas.

Harapannya melalui program tersebut, kampus-kampus dan roda perekonomian Jepang tetap berjalan. (Ayoeb/NDY)

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.