Sepatu Dari Miya Untuk Akar Keindahan yang Tak Lagi Punya Rumah

fajarnasional.com – Sengatan matahari di siang bolong dihiraukan panasnya-dilewati begitu saja. Tambah-tambah meletusnya euforia hari kemerdekaan, semakin meredupkan bahkan menyamarkan ganasnya planet cahaya itu. masyarakat di kampungku sedari kalangan bawah-menengah-atas dari segi kekayaan. Di jendela kamar, ku melihat mereka bergembira jingkrak-jingkrak merayakannya di lapang tak luas kanan kiri adalah parit dekat rumahku, dengan ritual mengikuti lomba rakyat ; balap karung sampai lomba makan krupuk dan masukin paku kedalam botolpun menjadi hiasan seharian penuh.

Walau terbesit dalam hati-timbul keanehan. Saat tidak ada perayaan seperti ini, mereka saling gosip antar tetangga, mengantarkan isu buruk satu sama lain berdasarkan prasangka, dan spekulatif setiap obrolannya di warung bu Karni dan warung bu Titin. Seolah dua kubu yang saling mempertahankan status quo kemaslahatan umat manusia. Merasuki tiap-tiap yang memiliki logika dengan obrolan yang tidak sehat. Tak ayal berujung pada ujaran rasa benci-pertengkaran karena hal spele padahal.

Pernah disuatu hari ada yang jambak-jambakan karena  tersulut emosi akibat  salah seorang pendukungnya sesama tetangga yang katanya kaya : beli mas palsu namun ketahuan kepalsuannya saat di pamerkan di tongkrongan khas warung rempong ibu-ibu itu. Penuh olok-olok! Tapi kini, saat perayaan agustusan, seolah semuanya Kembali ke fitrah tanpa dosa, Mewafatkan semua sifat kemunafikan, melebur Bersama tawa. Penuh humor. kira-kira!!

Angkot kolot nyaring suara dan kepulan asapnya menyerupai awan hitam datang dari arah kota menghampiri depan rumah sembari terbatuk-batuk kelelahan. Pas! Ayah pulang bertepatan saat pak Rt mengumumkan kejuaraan lomba saat hari mulai sore, saat semuanya letih kepayahan berkompetisi atau sekadar melebar eksistensi keseruan semata untuk menghibur diri, lalu bersorak gembira layaknya penonton bayaran acara show di Teve-teve.

Dalam hati penuh kesal kutuju pada ayah. karena tak ikut menyicipi huru-hara dibalik jendela tadi. Walau begitu, tak enak hati! Tak ku persoalkan secara rumit tragedi ini, kuampuni ayah walau membuat kesal karena tak menjadi idolaku saat perlombaan di gelar.

Namun, tak kusangka sebuah kejutan hadir. Tak seperti biasanya ayah membawakanku jaket yang imut warna pink Bersama sepatu boot yang indah lagi cantik, ada gambar bunga kecil di samping sepatu itu, bentuknya mirip bunga peliharaanku. pipiku tersenyum memerah tak terbendung. Mungkin ini karena barang yang ku dambakan sejak idul fitri tahun kemarin. Kini terkabul secara Cuma-Cuma! Seketika atmosfer jiwaku berubah menjadi mood booster, penuh kesejukan seolah tak terjadi apa-apa yang berkaitan dengan kekecewaan. Ajaib!

gimana suka tidak oleh-oleh dari balinya miy?” tanya ayah dengan mata merayu dengan nada mendayu.

Suka dong yah, ayah kenapa baru pulang sekarang? Kenapa tidak kemarin? Kan bisa ikut partisipasi di perlombaan tadi”

iyah, ayah kehabisan tiket pesawat kemarin, jadi ayah baru bisa pulang hari ini. Maaf yah miy

hmmm..”  aku menjawab dengan menghembuskan nafas dengan nada sinis sembari menahan rasa gembira. Campur aduk! Namun, tetap soal hati rasanya ingin mengaduh menjerit lari dari kekesalan! Kutelan! kuredam dalam hati karena basa-basi alasan ayah yang tak pernah berubah redaksinya. Tiap-tiap ada acara penting tak pernah datang ikut serta. “Maaf yah miy” ucapnya dengan 1000x perbuatan yang kesemuanya sama dan semu. Tapi yang ini ada beda sedikitnya karena faktor oleh-oleh. Mungkin!

Kulupakan kisah tadi! Ada yang janggal, Malam ini aku tak bisa tidur nyenyak seperti biasanya, bukan karena pertengkaran ayah dan ibu, tapi jiwaku yang rasanya sedang di koyak-koyak oleh rasa penuh gembira. Bahkan terlewat gembira ketimbang hari tadi saat warga dalam ritualnya merayakan agustusan yang tetangga kampungku juga melakukannya tanpa bosan, tiap tahun dengan ritual yang itu-itu saja dan terbilang sama.

Apalagi saat pak Yono jatuh keparit karena karung yang di pakainya tak fleksibel, kakinya serasa berbelit dengan keadaan ruang karung yang sempit, ditambah badannya yang terlampau gendut menghantam keseimbangan saat mencoba melompat tinggi dengan cepat malah membuatnya terguling bak truk dengan beban muatan kepenuhan. Entahlah body shaming atau tidak. Yang jelas warga sekampung riuh mentertawakan pak Yono saat tengah kesakitan. Anehnya lagi, Saat itu pula pak Yono ikut mentertawakan dirinya sendiri bersamaan dengan warga sekampung saat terjungkal. Pak Yono..pak Yono. Lucu mungkin!

Rumah terdengar sepi, udara yang berkecamuk kata-kata dalam payung pertengkaran antara ayah dan ibu tak terdengar seperti biasanya malam ini. Bertengkar karena pekerjaan ayah yang tak menetap di kota, membuat ibu ingin terus bertengkar, seolah membela hak-hak untuk disayangi dan diberi ucapan selamat pagi lalu menyantap masakannya setiap hari seperti suami pada umumnya, seperti ayah pada umumnya. Kadang masakan ibu tak ada yang makan, aku hanya makan sedikit, kenyang lalu lalu pergi ke pelataran rumah menemui bungaku. Selebihnya milik kucing, ayam, bebek, mungkin juga kadal dan toke kalo mereka mau!

Protes ibu Membuat udara rumah acapkali penuh dengan kepulan kata-kata sarkasme saat bertengkar dengan ayah. Tapi ayah tetap tak mendengar aspirasi ibu walau sekasar apapun, walau sesedih apapun. Seperti pemerintah saat di demo, tak di gubris sedikitpun. Hanya di redam dengan kata iya! Tenagnlah! Entah iya apa? tenang apa? yang jelas ayah tetap memilih jalur pekerjaannya sebagai pelaut yang berlabuh dimana-mana, tapi tak berlabuh di rumahnya sendiri dengan durasi waktu lama dan menetap seperti makhluk darat pada umumnya juga.

Tak jarang ayah membanting kursi, piring dan gelas berteriak kencang setelah dibanting juga ke lantai. Jreeennggg!! Jrannggggg!! Crot!! (mungkin crot bukan suara pecah gelas, skip aja!!). Mereka pecah sepecah emosi ayah karena pertengkaran hebat dengan ibu bulan lalu. Namun, Bayangan pertengkaran itu kini terlupa tiba-tiba oleh rasa gembira yang di bawakan oleh sepatu dan jaket dari ayah. Walau hati enggan menerimanya karena rasa kesal dan kecewa padanya karena jarang dirumah, apalah daya? Aku hanyalah ruang pengembangan diri dan penerima asupan untuk pertumbuhan fisik yang sedang dalam fase-fasenya. Aku tak cukup referensi untuk menolak keadaan atau menciptakan keadaan, kecuali aku mati! Mungkin Mereka akan tersadarkan betapa pentingnya berkumpul dan memeluk anak sepanjang hari.

Suara jangkrik berkumandang keras memekik-mendobrak dinding malam dari arah semak-semak dekat belakang rumah, telingaku seperti punya teman baru sebagai objek untuk didengarkan. Walau tanpa obrolan. Ia memberikan suasana yang menyenangkan digendang telinga, nadanya menari-nari seolah gendangku taman bermainnya. Jiwa yang disayat dinginnya sunyi dan kulit yang menggigil karena udara malam, karena pintu jendela yang tak ku tutup. Sengaja ku biarkan terbuka agar badanku di hembus angin sepuas-puasnya, tentu agar bisa kupakai jaket baru dari ayah, agar serasa di peluknya. Hangat!

selain jarang bertemu! ayah juga jarang memeluku dengan erat, hangat dan tahan lama saat bertemu. Ayahku adalah pelaut, selain pelaut ia juga adalah pengecut. Ia tak punya waktu dan seni untuk memeluk putri sulungnya ini, kini aku dingin kasih sayang. Hausss karena rasa rindu pelukan dari seorang ayah yang kurang bahkan tak sama sekali berlabuh di badanku. Ia melaut memeluk Samudra, tapi anaknya sendiri yang lebih kecil dari Samudra, ia tak sanggup memeluk. Selalu tak bisa! Dan banyak acara!!

Matahari menyorot kontras kepelupuk mata, mengetok kelopak mata membangunkan dari arah jendela, sinarnya masuk membuat siluet dari setiap benda yang di terpa. ketiduran semalam membuatku lupa soal menutup pintu jendela. Mungkin aku benar-benar sengaja atau lupa! aku tak tahu! Karena terlalu pulas aku tertidur dan terlalu hangat dalam pelukan jaket.

Udara pagi mengguyur badan lalu masuk ke pori-pori kulitku begitu segar rasanya. Alam menyapaku lebih dulu dan peduli dari pada ayah, Suara burung berkicau di pohon mangga memberi nada yang sangat harmoni didalam jiwa, mengetuk Nurani untuk bergegas segera menyiram bunga matahari dekat tembok. Selain peliharaan, ia juga adalah teman setiaku, teman sepi. Pun tempat curah soal derita kasih yang masuk kelorong hidupku.

“pagi diva pagi riko” sapaku

“pagi juga miya, kamu pasti belum mandi ya?” tanya mereka saat ku siram penuh kehati-hatian.

“hehe.. tau aja kalian”

“kamu sahabat yang baik memang, lebih mementingkan kesegaran kami dibanding kesegaran dirimu sendiri”

“haha.. tidak begitu kok, memang aku malas saja mandi. Toh.. tak kemana-mana juga kan aku mandi. Jadi buat apa aku mandi? Walau mandi bisa membuat bersih dan segar dibadan, bagiku Mandi adalah tetap hal yang sia-sia untuk di lakukan. Mungkin aku telah mandi sebelum aku mandi. Mandi penderitaan atas kasih sayang yang kurang dari ayah tepatnya!”

Setelah ku berkata demikian, seolah Diva dan Riko yang tadinya mekar indah berubah terlihat dengan belas kasih dengan kelopak pasrah rasa bersalah, sedikit-sedikit layu kehilangan kemudi semangat untuk ngobrol timbal balik, setelahnya ia tak lagi membalas kalimatku. Entahlah, mungkin ia bosan mendengar ocehanku, sehingga menutup kelopak bunganya perlahan.

Dari arah pagar, dua orang datang lalu tak lama kemudian disambut sebuah mobil  tak diundang membawa pasir dan teman-temannya sebangsa matrial begitu! Udara tak sedap hinggap di perasaanku tiba-tiba, ia berkabar bahwa Halaman rumah yang berisi bungaku akan di gusur oleh mereka. Tentu, ini utusan ayahku juga izin dari ibuku sebagai persekongkolan gelap, karena tanpa sepengetahuanku : kalo bahwa akan ada perubahan keindahan rupa untuk pelataran rumah yang lebih modernis-katanya.

Setelah tak mengabulkan kebahagiaanku di fase anak 10 tahun, kini teman-temanku ingin mereka rampas juga. Bagiku ini adalah ketidak adilan dalam dunia fase kanak-kanak, semua yang ada di pelataran rumah membawa kedukaan yang amat dalam dan dilematis,  kalaupun pak Rt ada disana, ia juga ikut serta didalamnya karena mungkin takkan membela hak-hak ku sebagai anak perempuan yang seharusnya layak berbahagia dan berkembang  semaunya dengan kasih sayang yang ekstra. Bukannya dengan suasana mencekam seperti ini dengan kabar duka akan merusak teman-temanku.

Tak banyak pilihan, aku hanya anak kecil yang cengeng, menelan diam ketidak tahuan, ketidak setujuan tentang pembangunan di pelataran rumah, karena keotoriterian ayah dan ibu yang tak demokratis, aku terpuruk seolah hanya patung tak berharga yang memandang kosong lolong dengan kondisi hidup tak lagi punya siapa-siapa untuk aku siram, atau diajak mengobrol tentang hari dan waktu dalam selimut derita.

Bungaku di sisir habis-habisan dari hulu kehilir, diganti dengan bethon. Jiwaku terkurung oleh rasa bersalah, semuanya mati tak tertolong. Aku hanya berhasil menyelamatkan Diva dan Riko. Ia ku tempatkan di sepatuku. Yap!! Sepatu baru dari ayah. Kujadikan pot untuk Diva dan Riko. Kubuatkan epitaf juga untuk mereka lalu Kutuliskan sesuatu agar tidak ada yang menyentuh sembarang.

tumbuhlah tumbuh kawanku, kamu aman di sepatuku. Semoga teman-teman yang lain senang di alam barunya, juga memaafkan kebinatangan dari ; ayahku, ibuku, tukang matrial, tukang pembuat lapisan bethon di pelataran rumah, dan juga pak Rt yang tidak datang sebagai pahlawan.”

Penulis : SonAbd
Editor : Redaksi

Bagikan

One thought on “Sepatu Dari Miya Untuk Akar Keindahan yang Tak Lagi Punya Rumah

  • 01/04/2021 pada 18:57
    Permalink

    Semoga diva dan riko bisa tumbuh subur di hatimu miy ❤❤

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.